Sunday, June 30, 2013

Otonomi daerah (uu, pengertian, kelebihan dan kekurangan, keberhasilan otonomi daerah, dll)



UU otonomi daerah
UU otonomi daerah di Indonesia merupakan dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. UU otonomi daerah di Indonesia merupakan payung hukum terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU otonomi daerah seperti, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan seterusnya.

UU otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:

“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945  Pasal 18 ayat (7), bahwa:

“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.

Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.

Pengertian otonomi daerah
Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli

Beberapa pengertian otonomi daerah menurut beberapa pakar, antara lain:

Pengertian Otonomi Daerah menurut F. Sugeng Istianto, adalah:

“Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah”

Pengertian Otonomi Daerah menurut Ateng Syarifuddin, adalah:

“Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan melainkan kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan”

Pengertian Otonomi Daerah menurut Syarif Saleh, adalah:

“Hak mengatur dan memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut merupakan hak yang diperoleh dari pemerintah pusat”

Selain pendapat pakar diatas, ada juga beberapa pendapat lain yang memberikan pengertian yang berbeda mengenai otonomi daerah, antara lain:

Pengertian otonomi daerah menurut Benyamin Hoesein, adalah:

“Pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat”

Pengertian otonomi daerah menurut Philip Mahwood, adalah:

“Suatu pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sendiri dimana keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber material yang bersifat substansial mengenai fungsi yang berbeda”

Pengertian otonomi daerah menurut Mariun, adalah:

“Kebebasan (kewenangan) yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang memungkinkan meeka untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri. Otonomi daerah merupakan kebebasan untuk dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat”

Pengertian otonomi daerah menurut Vincent Lemius, adalah:

“Kebebasan (kewenangan) untuk mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupun administasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam otonomi daerah tedapat kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah namun apa yang menjadi kebutuhan daerah tersebut senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”

Kelebihan dan kekurangan
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan sebagai berikut ini.
a.       Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
b.      Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
c.       Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
d.      Dengan adanya  desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.
e.       Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
f.       Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebuh beser kepada daerah.
g.      Akan memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani.

Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini.
a.       Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang mempersulit koordinasi.
b.      Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
c.       Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya  apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
d.      Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
e.       Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.

Keberhasilan otonomi daerah
Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai berikut:

Kemampuan struktural organisasi
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.

Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.

Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.

Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal yang mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor peralatan, serta faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan, serta sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kedua, keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini sebagai faktor penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah otonom untuk dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya. Ketiga, peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah dengan baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.
Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia ialah faktor yang paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Agar mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula. Atau dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan apabila manusia sebagai subyek sudah baik pula.

Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat mendukung pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mamesah mengutip pendapat Manulang (1995: 23) yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara sangat penting. Semakin baik keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara buruk, maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya.

Faktor ketiga ialah anggaran, sebagai alat utama pada pengendalian keuangan daerah, sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan susunannya. Anggaran berisi rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke muka yang bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang baik untuk melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik pula.

Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat yang dapat digunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai tujuannya, seperti alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan lain-lain. Namun demikian, peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada kondisi keuangan yang dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang menggunakannya.

Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang tergambar dalam struktur organisasi yang jelas berupa susunan satuan organisasi beserta pejabat, tugas dan wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Mengenai arti penting dari manajemen terhadap penciptaan suatu pemerintahan yang baik, mamesah (1995 : 34) mengatakan bahwa baik atau tidaknya manajemen pemerintah daerah tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan, khususnya tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer daerah.

Sistem politik di Indonesia dan perkembangannya pada masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi


Sistem politik di Indonesia dan perkembangannya pada masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi


Sistem politik di Indonesia

Indonesia memiliki sistem politik demokrasi, tetapi yang diterapkan tidak
seperti negara lain yang menggunakan sistem demokrasi, melainkan demokrasi
yang sesuai dengan bangsa Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila. Menurut Dardji
Darmadiharjo, Demokrasi Pancasila merupakan paham demokrasi yang bersumber
pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
a. Perkembangan sistem politik di Indonesia
Sistem politik demokrasi di Indonesia mengalami pasang runtuh sejak
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem politik Indonesia
telah mengalami perubahan-perubahan, baik sebelum amendemen UUD 1945
maupun sesudah adanya amendemen UUD 1945. Sejak merdeka,
perkembangan politik di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Sistem politik Indonesia sebelum Amendemen UUD 1945
Perkembangan politik dan sistem politik suatu negara dapat disimpulkan,
salah satunya, dari perkembangan partai-partai politiknya. Perkembangan
partai politik di Indonesia dimulai sejak zaman Belanda. Ini menjadi
manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Pola kepartaian pada masa itu
menunjukkan keanekaragaman, ada yang bertujuan sosial (Budi Utomo dan
Muhammadiyah), ada yang menganut asas politik berdasarkan agama, seperti
Masyumi, Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Katolik, dan Partai
Kristen Indonesia (Parkindo), dan ada juga partai-partai yang mendasarkan
diri pada suatu ideologi tertentu, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI)
yang berasaskan nasionalisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
berasaskan komunisme. Di masa penjajahan Jepang, kegiatan partai politik
tidak diperbolehkan, kecuali pembentuk partai golongan Islam (Masyumi).
Menurut Mohammad Mahfud M.D. dalam bukunya Hukum dan Pilar-
Pilar Demokrasi perkembangan politik di Indonesia setelah kemerdekaan
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga periode.
a) Periode Demokrasi Liberal (1945–1959)
Masa ini ditandai dengan adanya
kebebasan untuk mendirikan partai politik.
Peranan partai-partai politik sangat dominan
dalam menentukan arah tujuan negara
melalui badan perwakilan. Masa ini berakhir
dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Indikator demokrasi liberal di
Indonesia pada masa itu sebagai berikut.
(1) Partai-partai politik sangat dominan
menentukan arah bagi perjalanan
negara melalui badan perwakilan.
(2) Eksekutif berada pada posisi yang
lemah karena sering jatuh bangun
akibat adanya mosi partai.
(3) Adanya kebebasan pers yang relatif cukup baik, bahkan pada periode
ini peraturan sensor dan pembredelan yang diberlakukan sejak zaman
Belanda dicabut.
b) Periode Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Masa ini ditandai dengan adanya persaingan (rivalitas) tiga kutub,
yaitu antara Soekarno (Presiden RI) yang didukung oleh partai-partai
berhaluan nasionalis, PKI yang didukung oleh partai-partai berhaluan
sosialis, dan pihak militer yang dimotori oleh TNI AD. Saat itu, partai
politik memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah sehingga
kurang menunjukkan aset yang berarti dalam pencaturan politik di
Indonesia. Puncak periode ini adalah terjadinya Pemberontakan G-30-
S/PKI tanggal 30 September 1965. Indikator Demokrasi Terpimpin saat
itu adalah
(1) partai-partai politik sangat lemah, kekuatan politik ditandai dengan
adanya tarik tambang antara Presiden, Angkatan Darat, dan PKI;
(2) kedudukan (posisi) badan eksekutif yang dipimpin oleh presiden
sangat kuat, Presiden merangkap sebagai Ketua DPA yang dalam
praktiknya menjadi pembuat dan selektor produk legislatif;
(3) kebebasan pers sangat terkekang, bahkan terjadi suatu tindakan
antipers yang jumlahnya sangat spektakuler.
c) Periode Orde Baru (1966–1998)
Inilah masa pemerintahan Soeharto (Presiden RI yang kedua) yang
melakukan “pembenahan” dalam sistem politik, antara lain, mengenai
jumlah partai politik, yaitu melalui penyederhanaan partai politik (fusi)
menjadi tiga, yaitu
(1) PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang berdasarkan ideologi
Islam, merupakan fusi dari partai-partai NU, Parmusi, PSII, dan
Partai Islam.
(2) Golkar (Golongan Karya) yang berdasarkan asas kekaryaan dan
keadilan sosial.
(3) PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang berdasarkan demokrasi,
nasionalisme, dan keadilan, merupakan fusi dari Parkindo, Partai
Katolik, PNI, dan Murba.
Dengan demikian, kedudukan partai politik lemah karena adanya
kontrol yang ketat dari lembaga eksekutif. Hal ini berdampak pada
lembaga perwakilan yang penuh dengan intervensi dari kekuasaan
eksekutif. Indikator sistem politik Orde Baru sebagai berikut.
(1) Partai politik lemah karena adanya kontrol yang ketat oleh eksekutif
dan lembaga perwakilan penuh dengan intervensi tangan-tangan
eksekutif.
(2) Kedudukan eksekutif (pemerintahan Soeharto) sangat kuat,
mengintervensi kehidupan partai-partai politik, serta menentukan
spektrum politik nasional.
(3) Kebebasan pers terkekang dengan adanya lembaga SIT yang
selanjutnya diganti dengan SIUPP.
Terlepas dari pasang surutnya peran partai politik dalam menentukan
perkembangan sistem politik Indonesia, Sistem Politik Demokrasi Pancasila
yang dikehendaki UUD 1945 sebelum terjadi amendemen sebagai berikut.
a) Bentuk negara adalah kesatuan dan bentuk pemerintahan republik.
b) MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) merupakan lembaga tertinggi
negara yang memiliki wewenang dan tugas menjalankan kedaulatan
rakyat, menetapkan UUD, memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan
mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban
Presiden bila Presiden melanggar UUD.
c) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) merupakan lembaga tinggi negara
yang bertugas menetapkan UU, menetapkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), dan memberikan persetujuan kepada Presiden
atas pernyataan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan
negara lain.
d) Presiden merupakan lembaga tinggi negara yang berkedudukan sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan. Wewenang dan tugas presiden
adalah menetapkan peraturan pemerintah; mensahkan atau menolak
untuk mengesahkan RUU yang telah disetujui oleh DPR; mencabut
peraturan pemerintah yang tidak disetujui oleh DPR; menyatakan perang
dan membuat perdamaian dengan negara lain dengan persetujuan DPR;
mengangkat duta dan konsul; memberi grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi; serta mengangkat menteri-menteri.
e) DPA (Dewan Pertimbangan Agung) merupakan lembaga tinggi negara
yang memiliki kewajiban untuk memberi jawaban atas pertanyaan
Presiden dan memiliki hak untuk mengajukan usul kepada pemerintah.
Usul atau nasihat DPA hanya mengikat Presiden secara moral dan tidak
secara konstitusional, oleh sebab itu, nasihat atau usul tersebut boleh
diperhatikan dan dijalankan ataupun sebaliknya. Karena tidak memiliki
hak memaksa, kedudukan DPA lemah.
f) BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) merupakan lembaga tinggi negara
yang berperan atau bertugas memeriksa jalannya keuangan negara. BPK
merupakan lembaga negara yang memiliki kekuasaan terlepas dari
pengaruh pemerintah, namun tidak berarti kedudukan BPK di atas
pemerintah.
g) MA (Mahkamah Agung) merupakan lembaga tinggi negara dan
memegang kekuasan yudikatif. MA dan badan peradilan di bawahnya
memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka, terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah.
2) Sistem politik Indonesia setelah Amandemen UUD 1945
Sistem politik hasil amandemen UUD 1945 tidak mengenal adanya
lembaga tertinggi negara. Semua lembaga berada pada posisi yang sebanding.
Selain itu, ada lembaga negara yang dihapuskan, yaitu DPA (Dewan
Pertimbangan Agung), dan ada pula beberapa lembaga negara yang baru,
yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MK (Mahkamah Konstitusi), dan
KY (Komisi Yudisial). Sistem politik setelah Amendemen UUD 1945 sebagai
berikut.
a) Bentuk negara adalah kesatuan dan bentuk pemerintah adalah republik
yang terdiri dari 33 provinsi dengan asas desentralisasi sehingga terdapat
pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat.
b) Parlemen terdiri dari dua kamar (sistem bikameral), yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Anggota DPR dipilih
oleh rakyat melalui pemilu dan merupakan perwakilan dari rakyat,
sedangkan anggota DPD adalah perwakilan provinsi yang anggotanya
dipilih oleh rakyat di daerah yang bersangkutan melalui pemilu. Masa
jabatannya adalah lima tahun. DPR memiliki kekuasaan membuat
undang-undang, menetapkan APBN, dan mengawasi jalannya
pemerintahan.
c) Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga negara yang
berwenang melantik Presiden dan Wakil Presiden, memberhentikan
presiden dan wakil presiden, serta mengubah dan menetapkan UUD.
Anggota MPR adalah anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki
masa jabatan lima tahun.
d) Eksekutif dipegang dan dijalankan oleh Presiden yang berkedudukan
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan Wakil
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu untuk masa
jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang
sama. Presiden sebagai kepala pemerintahan membentuk kabinet yang
terdiri dari menteri-menteri. Menteri-menteri bertanggung jawab kepada
presiden. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen dan tidak
bertanggung jawab kepada parlemen.
e) Kekuasaan yudikatif dipegang dan dijalankan oleh Mahkamah Agung
dan badan peradilan di bawahnya bersama Mahkamah Konstitusi.
Adapun Komisi Yudisial berwenang memberikan usulan mengenai
pengangkatan Hakim Agung.
f) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR dan DPD, juga
memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket.
g) Sistem kepartaian adalah multipartai. Jumlah partai yang mengikuti
Pemilu pada tahun 2004 adalah 24 partai dan pada tahun 2009 adalah 34
partai politik.
h) BPK merupakan badan yang memiliki kekuasaan untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Hasil
pemeriksaan diserahkan kepada DPR. Anggota BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) dipilih oleh DPR dengan memerhatikan pertimbangan dari
DPD dan selanjutnya diresmikan oleh Presiden.
i) Pada pemerintahan daerah, yaitu provinsi dan kabupaten/kota dibentuk
pula badan/lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
(1) Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPRD Provinsi di wilayah
provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di wilayah kabupaten/kota.
Anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu.
(2) Kekuasaan eksekutif pada provinsi dipegang oleh gubernur, sedang
pada daerah kabupaten/kota dipegang oleh bupati/wali kota yang
semuanya dipilih langsung oleh rakyat di daerah masing-masing
melalui Pemilu.
(3) Kekuasaan yudikatif pada provinsi dijalankan oleh pengadilan tinggi
dan untuk kabupaten/kota dijalankan oleh pengadilan negeri.
Adapun perkembangan partai politik yang mengikuti perubahan sistem
politik pada masa ini ditandai dengan adanya gerakan reformasi sehingga
disebut Era Reformasi. Era ini berawal pada tahun 1998, yaitu masa setelah
jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Reformasi membawa perubahan dalam
sistem politik, dengan demikian juga terdapat perubahan dalam kedudukan
partai politik. Partai politik diberi kesempatan untuk hidup kembali serta
mengikuti pemilu yang pertama setelah masa orde baru, yaitu pada tahun
1999 dengan diikuti oleh banyak partai politik.

Sistem Politik Pada Era Reformasi
Sistem politik pada era reformasi biasa diuraikan sebagai berikut :
 Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
 Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
 Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
 Gaya politik – pragmatic      
 Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
 Partisipasi massa – tinggi
Keterlibatan militer – dibatasi
 Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah
 Stabilitas – instabil
Era Reformasi atau Era Pasca Soeharto di Indonesia disebabkan karena tumbangnya orde baru sehingga membuka peluang terjadinya reformasi politik di Indonesia pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 karena adanya wacana suksesi yang sengaja dibuat oleh Amien Rais untuk menjatuhkan rezim Soeharto dimana didalamnya terdapat tuntutan untuk melakukan reformasi dan juga desakan dari parlemen beserta mendurnya beberapa menteri dari kabinet saat itu. sehingga bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia dimana kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Setelah Soeharto mundur maka BJ. Habibie kemudian dilantik sebagai presiden menggantikan presiden Soeharto dan segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu hal yang dilakukan oleh Habiebie saat itu adalah mepersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi, seperti : mengesahkan UU partai politik, UU susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Dan hal yang dilakukan oleh Presiden Habibie yang lain adalah pengahapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI dihilangkan.
Demokrasi di masa pemerintahan BJ. Habibie amat sangat terbuka luas, namun demokrasi yang ditawarkan oleh presiden Habibie ini membuat masyarakat Indonesia bebas untuk melakukan apapun dalam halnya berbicara, bertindak dan melakukan kreativitas yang menunjang untuk dirinya sendiri, masyarakat serta bangsa dan negara. Sehingga masyarakat Timor Leste seakan mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama ini hanya dimanfaatkan oleh Soeharto dalam masa orde baru. Hal ini dikarenakan pada masa orde baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah hasil kekayaan mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan masyarakat Timor Leste.
Penyebab ini yang akhirnya mengakibatkan rakyat Timor Leste menginginkan untuk lepas dari NKRI. B.J Habibie selaku kepala negara saat itu mengadakan jajak pendapat untuk kebaikan kedua belah pihak. Timor Leste akhirnya lepas dari pangkuan ibu pertiwi. dan Seharusnya Pemeritah melakukan terlebih dahulu Pembangunan nilai demokrasi yang diawali dari pemerintahan saat itu guna menjaga dan mensosialisasikan nilai demokrasi sebenarnya dan menggunakannya dengan benar.
 Setelah masa Pemerintahan dari Bj.Habibie maka masuklah pasangan Terpilih duet Abdurrahman Wahid-Megawati secara legalitas formal telah lahir periode baru dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Era Orde Baru telah dinyatakan berakhir dan digantikan Orde Reformasi. Hadirnya Orde Reformasi seperti halnya awal-awal kebangkitan Orde Lama dan Orde Baru rakyat menaruh harapan besar bahwa Orde Reformasi dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pasangan Gus Dur-Megawati sebenarnya dinilai ideal dilihat dari aspek wawasan. Gus Dur adalah seorang santri tradisional yang memiliki wawasan kebangsaan yang tidak diragukan, sementara Megawati adalah seorang nasionalis yang juga memiliki wawasan Islam modern. Duet Gus Dur-Megawati lalu membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang dilantik tanggal 28 Oktober 1999. Terlepas dari adanya kekecewaan karena dihapuskannya Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, cabinet ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan.
Dalam menjalankan pemerintahan, Abdurrahman Wahid mangalami banyak persoalan pada masa Orde Baru. Persoalan yang sangat menonjol adalah masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pemulihan ekonomi, masalah BPPN, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs rupiah, masalah jarinagn pengaman social (JPS), munculnya masalah disintegrasikan, konflik etnis dasar umat beragama, penegakan hokum dan penegakan hak asasi manusia (HAM).
Belum genap 100 hari berkuasa dan belum tuntasnya penyelesaian persoalan-persoalan peninggalan Orde Baru, pemerintahan Gus Dur dihadapan pada persoalan-persoalan kebijakannya yang dinilai banyak kalangan sangat controversial. Kebijakannya antara lain:
1.      Pencopotan Kapolri Jendral Pol. Roesmanhadi yang dianggap sebagai orangnya Habibie.
2.      Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudrajat yang dilatari oleh pernyataannya bahwa Presiden bukan Pangganti TNI. Penggantinya adalah Marsekal Muda TNI Graito. Penggantian ini cukup mengagetkan karena diambilkan dari TNI AU, yang selama 32 tahun terakhir tidak pernah mndapatkan jabatan strategis di jajaran TNI.
3.      Pencopotan Wiranto sebagai Menko Polkan dilatarbelakangi oleh hubungan yang tidak harmonis antara Wiranto dan Gus Dur arena Gus Dur mengijinkan dibentuknya Komisi Penyelidik Penyelanggara (KPP) HAM di Timor Timur
4.      Mengeluarkan pengumuman tantang adanya menteri-menteri Kabinet Persatuan Nasional yang terlibat KKN. Pengumuman ini sangat mempengaruhi kinerja kabinet. Tampak beberapa menteri merasa sulit melakukan koordinasi di antaranya Laksamana SDukardi dan Kwik Kian Gie. Mereka kesulitan melakukan koordinasi dengan Memperindag Jusuf Kalla yang menghadapi tudingan KKN.
5.      Gus Dur menyetujui nama Papua sebagai ganti Irian Jaya pada akhir Desember 1999. Gus Dur bahkan menyetujui pula pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai bendera Papua. Atas kebijakan yang menguntukan ini, Dewan Presidium Papua yang diketuai oleh Theys Hiyo Eluay menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua (Mei-Juni 2000)dan menetapakn tanggal 1 Desember (hari berakhirnya pendudukan Belanda 1962) menjadi hari kemerdekaan Papua Barat.
 Selain penilaian bahwa kebijakan Gus Dur Kontroversial, berkembang pula pendapat bahwa kebijakan Gus Dur dianggap berjalan sendiri tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, termasuk di dalamnya urusan protokoler. Segala persoalan diselesaikan Gus Dur berdasarkan bisikan kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara. Dalam suasana sikap pro dan kontra masyarakat atas kepemimpinan Gus Dur, muncul kasus Bruneigate. Meskipun tidak terbukti melalui pengadilan, skandal Bruneigate mengakibatkan kredibilitas rakyat terhadap Gus Dur semakin turun drastis. Ketua MPR, Amien Rais yang dulu sangat bersemangat mendukung Gus Dur berbalik arah. Skandal Bruneigate dan pengangkatan wakil Kapolri, Kamjen (Pol) Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan kepala Polri tanpa persetujuan DPR RI telah memicu konflik antara pihak eksekutif dan legislatif. Puncak kekecewaan DPR terbukti dengan dikeluarkannya Memorandum I buat Presiden Gus Dur pada tanggal 1 Februari 2001 yang disusul Memorandum II pada tanggal 30 April 2001. Presiden Gus Dur memang terkenal dengan sikapnya yang controversial, bukan dating memberi laporan pertanggungjawaban , melainkan pada pukul 01.05 WIB mengeluarkan Maklumat Presiden yang isinya antara lain membekukan lembaga MPR dan DPR.
Pada saat yang sama MPR melalui ketua Amien Rais secara tegas menolak dekrit yang dibuat Presiden Gus Dur. Langkah yang diambil Gus Dur menjadikan dirinya semakin tidak popular dan mempercepat proses kejatuhannya dari kursi kepresidenan. Apalagi ternyata dekrit tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI dan Polri.
Puncak jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan terjadi ketika MPR atas usulan DPR mempercepat Sidang Istimewa MPR. MPR menilai Presiden Gus Dur telah melanggar Tap No. VII/MPR/2000, karena menetapkan Komjen (Pol) Chaeruddin sebagai pemangku sementara jabatan Kapolri.
Kemudian Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Megawati secara resmi diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5. Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata masyarakat Indonesia, menurun seiring dengan waktu. Hal ini ditambah dengan sikapnya yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat sehingga mungkin membuatnya dianggap sebagai pemimpin yang 'dingin'. Sejak kenaikan Megawati sebagai presiden, aktivitas terorisme di Indonesia meningkat tajam, beberapa peledakan bom terjadi yang menyebabkan sentimen negatif terhadap Indonesia dari kancah internasional.
Setelah masa pemerintahan Megawati berakhir Indonesia menyelenggarakan kembali pemilu presiden secara langsung pertamanya.
Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada 2004, maju ke Pemilu 2004 dengan harapan untuk terpilih kembali sebagai Presiden. Ujian berat dihadapi Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih bisa diterima mayoritas penduduk Indonesia. Dalam kampanye, seorang calon dari partai baru bernama Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, muncul sebagai saingan Megawati.
Partai Demokrat yang sebelumnya kurang dikenal, menarik perhatian masyarakat dengan pimpinannya, Yudhoyono, yang karismatik dan menjanjikan perubahan kepada Indonesia. Pemilihan putaran pertama menyisihkan kandidat lainnya sehingga yang tersisa tinggal Megawati dan SBY. dan yang memenangkan pemilu untuk periode 2004-2009 adalah SBY, kemudian untuk periode 2009- hingga sekarang pemerintahan juga masih dipegang oleh SBY dan partainya Demokrat.

Konfigurasi Politik Era Orde Lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”.
Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa :
1)      Gerakan separatis pada tahun 1957
2)      Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.

refrensi:  http://mrs-fishy.blogspot.com/2013/01/perkembangan-politik-di-indonesia-orde.html
              http://sistempolitikerareformasi.blogspot.com/2012/11/sistem-politik-era-reformasi.html 

Manajemen nasional pada masa orde baru dan masa reformasi


Politik merupakan cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan politik bangsa Indonesia telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan politik bangsa Indonesia harus dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia. Untuk itu, pembangunan di segala bidang perlu dilakukan. Dengan demikian, politik pembangunan nasional harus berpedoman pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.

Politik dan strategi nasional dalam aturan ketatanegaraan selama ini dituangkan dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Selanjutnya, pelaksanaannya dilaksanakan oleh presiden/ Mandataris MPR. GBHN pada dasarnya merupakan haluan negara tentang pembangunan nasional yang ditetapkan setiap lima tahun dengan mempertimbangkan perkembangan dan tingkat kemajuan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Pelaksanaannya dituangkan dalam pokok-pokok kebijaksanaan pelaksanaan pembangunan nasional yang ditentukan oleh presiden sebagai mandataris MPR dengan mendengarkan dan memperhatikan sungguh-sungguh pendapat dari lembaga tinggi negara lainnya, terutama DPR. Kebijaksanaan yang telah mendapat persetujuan dari lembaga tinggi negara, khususnya DPR, merupakan politik pemerintah. Jadi, politik pemerintah tidak menyalahi jiwa demokrasi dan tetap berpedoman pada ketetapan MPR.

Politik pembangunan sebagai pedoman dalam pembangunan nasional memerlukan keterpaduan tata nilai, struktur, dan proses. Keterpaduan tersebut merupakan himpunan usaha untuk mencapai efisiensi, daya guna, dan hasil guna sebesar mungkin dalam penggunaan sumber dana dan daya nasional guna mewujudkan tujuan nasional. Karena itu, kita memerlukan sistem manajemen nasional. Sistem manajemen nasional berfungsi memadukan penyelenggaraan siklus kegiatan perumusan, pelaksanaan, dan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan. Sistem manajemen nasional memadukan seluruh upaya manajerial yang melibatkan pengambilan keputusan berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan ketertiban sosial, politik, dan administrasi.



1. Makna Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, serta kukuh kekuatan moral dan etikanya. Tujuan pembangunan nasional itu sendiri adalah sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahreraan seluruh bangsa Indonesia. Dan pelaksanaannya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan ranggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Maksudnya adalah setiap warga negara Indonesia harus ikut serta dan berperan dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan profesi dan kemampuan masing-masing.
Keikursertaan setiap warga negara dalam pembangunan nasional dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengikuti program wajib belajar, membayar pajak, melestarikan lingkungan hidup, mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, menjaga ketertiban dan keamanan, dan sebagainya.
Pembangunan nasional mencakup hal-hal yang bersifat lahiriah maupun batiniah yang selaras, serasi, dan seimbang. Itulah sebabnya pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang seutuhnya, yakni sejahtera lahir dan batin.
Pembangunan yang bersifat lahiriah dilaksanakan untuk memenuhikebutuhan hajat hidup fisik manusia, misalnya sandang, pangan, perumahan, pabrik, gedung perkantoran, pengairan, sarana dan prasarana transportasi dan olahraga, dan sebagainya. Sedangkan contoh pembangunan yang bersifat batiniah adalah pembangunan sarana dan prasarana ibadah, pendidikan, rekreasi, hiburan, kesehatan, dan sebagainya. Untuk mengetahui bagaimana proses pembangunan nasional itu berlangsung, kita harus memahami manajemen nasional yang te-rangkai dalam sebuah sistem.
2. Manajemen Nasional
Manajemen nasional pada dasarnya merupakan sebuah sistem, sehingga lebih tepat jika kita menggunakan istilah “sistem manajemen nasional”. Layaknya sebuah sistem, pembahasannya bersifat komprehensif-strategis-integral. Orientasinya adalah pada penemuan dan pengenalan (identifikasi) faktor-faktor strategis secara menyeluruh dan terpadu. Dengan demikian sistem manajemen nasional dapat menjadi kerangka dasar, landasan, pedoman dan sarana bagi perkembangan proses pembelajaran {learning process) maupun penyempurnaan fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum maupun pembangunan.
Pada dasarnya sistem manajemen nasional merupakan perpaduan antara tata nilai, struktur, dan proses untuk mencapai kehematan, daya guna, dan hasil guna sebesar mungkin dalam menggunakan sumber dana dan daya nasional demi mencapai tujuan nasional. Proses penyelenggaraan yang serasi dan terpadu meliputi siklus kegiatan perumusan kebijaksanaan (policy formulation), pelaksanaan kebijaksanaan (policy implementation), dan penilaian hasil kebijaksanaan (policy evaluation) terhadap berbagai kebijaksanaan nasional.
Secara lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa sebuah sistem sekurang-kurangnya harus dapat menjelaskan unsur, struktur, proses, rungsi serta lingkungan yang mempengaruhinya.
a. Unsur, Struktur dan Proses
Secara sederhana, unsur-unsur utama sistem manajemen nasional dalam bidang ketatanegaraan meliputi:
1) Negara sebagai “organisasi kekuasaan” mempunyai hak dan peranan atas pemilikan, pengaturan, dan pelayanan yang diperlukan dalam mewujudkan cita-cita bangsa, termasuk usaha produksi dan distribusi barang dan jasa bagi kepentingan masyarakat umum (public goods and services).
2) Bangsa Indonesia sebagai unsur “Pemilik Negara” berperan dalam menentukan sistem nilai dan arah/haluan/kebijaksanaan negara yang digunakan sebagai landasan dan pedoman bagi penyelenggaraan fungsi-fungsi negara.
3) Pemerintah sebagai unsur “Manajer atau Penguasa” berperan dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan umum dan pembangunan ke arah cita-cita bangsa dan kelangsungan serta pertumbuhan negara.
4) Masyarakat adalah unsur “Penunjang dan Pemakai” yang berperan sebagai kontributor, penerima, dan konsumen bagi berbagai hasil kegiatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan tersebut di atas.
Sejalan dengan pokok pikiran di atas, unsur-unsur utama SISMENNAS tersebut secara struktural tersusun atas empat tatanan (setting). Yang dilihat dari dalam ke luar adalah Tata Laksana Pemerintahan (TLP), Tata Administrasi Negara (TAN), Tata Politik Nasional (TPN), dan Tata Kehidupan Masyarakat (TKM). Tata laksana dan tata administrasi pemerintahan merupakan tatanan dalam (inner setting) dari sistem manajemen national (SISMENNAS).
Dilihat dari sisi prosesnya, SISMENNAS berpusat pada satu rangkaian pengambilan keputusan yang berkewenangan, yang terjadi pada tatanan dalam TAN dan TLR. Kata kewenangan di sini mempunyai konotasi bahwa keputusan-keputusan yang diambil adalah berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh si pemutus berdasarkan hukum. Karena itu, keputusan-keputusan itu bersifat mengikat dan dapat dipaksakan (compulsory) dengan sanksi-sanksi atau dengan insentif dan disinsentif tertentu yang ditujukan kepada seluruh anggota masyarakat. Karena itu, tatanan dalam (TAN+TLP) dapat disebut Tatanan Pengambilan Berkewenangan (TPKB).
Penyelenggaraan TPKB memerlukan proses Arus Masuk yang dimulai dari TKM lewat TPN. Aspirasi dari TKM dapat berasal dari rakyat, baik secara individual maupun melalui organisasi kemasyarakatan, partai politik, kelompok penekan, organisasi kepentingan, dan pers. Masukan ini berintikan kepentingan Rakyat. Rangkaian kegiatan dalam TPKB menghasilkan berbagai keputusan yang terhimpun dalam proses Arus Keluar yang selanjutnya disalurkan ke TPN dan TKM. Arus Keluar ini pada dasarnya merupakan tanggapan pemerintah terhadap berbagai tuntutan, tantangan, serta peluang dari lingkungannya. Keluaran tersebut pada umumnya berupa berbaeai kebiiaksanaan yang lazimnya dituangkan ke dalam bentuk-bentuk perundangan/ peraturan yang sesuai dengan permasalahan dan klasifikasi kebijaksanaan serta instansi yang mengeluarkannya.
Sementara itu, terdapat suatu proses umpan balik sebagai bagian dari siklus kegiatan fungsional SISMENNAS yang menghubungkan Arus Keluar dengan Arus Masuk maupun dengan Tatanan Pengambilan Keputusan Berkewenganan (TPKB). Dengan demikian secara prosedural SISMENNAS merupakan satu siklus yang berkesinambungan.
b. Fungsi Sistem Manajemen Nasional
Fungsi di sini dikaitkan dengan pengaruh, efek atau akibat dari terselenggaranya kegiatan terpadu sebuah organisasi atau sistem dalam rangka pembenahan (adaptasi) dan penyesuaian (adjustment) dengan tata lingkungannya untuk memelihara kelangsungan hidup dan mencapai tujuan-tujuannya. Dalam proses melaraskan diri serta pengaruh-mempengaruhi dengan lingkungan itu, SISMENNAS memiliki fungsi pokok: “pemasyarakatan politik.” Hal ini berarti bahwa segenap usaha dan kegiatan SISMENNAS diarahkan pada penjaminan hak dan penertiban kewajiban rakyat. Hak rakyat pada pokoknya adalah terpenuhinya berbagai kepentingan. Sedangkan kewajiban rakyat pada pokoknya adalah keikutsertaan dan tanggung jawab atas terbentuknya situasi dan kondisi kewarganegaraan yang baik, di mana setiap warga negara Indonesia terdorong untuk setia kepada negara dan taat kepada falsafah serta peraturan dan perundangannya.
Dalam proses Arus Masuk terdapat dua fungsi, yaitu pengenalan kepentingan dan pemilihan kepemimpinan. Fungsi pengenalan kepentingan adalah untuk menemukan dan mengenali serta merumuskan berbagai permasalahan dan kebutuhan rakyat yang terdapat pada struktur Tata Kehidupan Masyarakat (TKM). Di dalam Tata Politik Nasional (TPN) permasalahan dan kebutuhan tersebut diolah dan dijabarkan sebagai kepentingan nasional.
Pemilihan kepemimpinan berfungsi memberikan masukan tentang tersedianya orang-orang yang berkualitas untuk menempati berbagai kedudukan dan jabatan tertentu dan menyelenggarakan berbagai tugas dan pekerjaan dalam rangka TPKB.
Pada Tatanan Pengambilan Keputusan Berkewenangan (TPKB), yang merupakan inti SISMENNAS, fungsi-fungsi yang mentransformasikan kepentingan kemasyarakatan maupun kebangsaan yang bersifat politis terselenggara ke dalam bentuk-bentuk administratif untuk memudahkan pelaksanaannya serta meningkatkan daya guna dan hasil gunanya. Fungsi-fungsi tersebut adalah:
1) Perencanaan sebagai rintisan dan persiapan sebelum pelaksanaan, sesuai kebijaksanaan yang dirumuskan.
2) Pengendalian sebagai pengarahan, bimbingan, dan koordinasi selama pelaksanaan.
3) Penilaian untuk membandingkan hasil pelaksanaan dengan keinginan setelah pelaksanaan selesai.
Ketiga fungsi TPKB tersebut merupakan proses pengelolaan lebih lanjut secara strategis, manajerial dan operasional terhadap berbagai keputusan kebijaksanaan. Keputusan-keputusan tersebut merupakan hasil dari fungsi-fungsi yang dikemukakan sebelumnya, yaitu fungsi pengenalan kepentingan dan fungsi pemilihan kepemimpinan yang ditransformasikan dari masukan politik menjadi tindakan administratif.
Pada aspek arus keluar, SISMENNAS diharapkan menghasilkan:
1) Aturan, norma, patokan, pedoman, dan Iain-lain, yang secara singkat dapat disebut kebijaksanaan umum (public policies).

2) Penyelenggaraan, penerapan, penegakan, maupun pelaksanaan berbagai kebijaksanaan nasional yang lazimnya dijabarkan dalam sejumlah program dan kegiatan.

3) Penyelesaian segala macam perselisihan, pelanggaran, dan penyelewengan yang timbul sehubungan dengan kebijaksanaan umum serta program tersebut dalam rangka pemeliharaan tertib hukum.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pada arus keluar SISMENNAS memiliki tiga fungsi utama berikut: pembuatan aturan (rule making), penerapan aturan (rule aplication), dan penghakiman aturan (rule adjudication) yang mengandung arti penyelesaian perselisihan berdasarkan penentuan kebenaran peraruran yang berlaku.
 

Pengertian Stratifikasi Politik dan Strategi Nasional dan Daerah


Sistem-sistem politik dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang memiliki lapisan-lapisan atau dengan kata lain berstratifikasi politik. Dapat disimpulkan bahwa stratifikasi politik adalah lapisan-lapisan atau lembaga-lembaga yang tergabung dalam sistem politik. Individu- individu yang berkedudukan dilapisan paling bawah dalam sistem stratifikasi politik tidak memiliki hampir semua syarat untuk menerapkan kekuasaan politik. Untuk individu yang berkedudukan dipuncak sistem stratifikasi sangat banyakmemiliki syarat atau sarana itu.kolerasi empirik yang mendukung pemikiran tentang stratifikasi politik ini begitu kuat dan begitu universal sehingga dapat menghasilkan suatu kunci yang berguna bagi studi politik.
Proses penyusunan politik strategi nasionalpada infrastruktur politik  merupakan sasaran yang akan di capai oleh rakyat indonesia. Sesuai dengan kebijakan politik nasional, penyelenggara negara harus mengambil langkah-langkah pembinaan terhadap semua lapisan masyarakat dengan mencantumkan sasaran masing-masing sektor/bidang. Saat ini msyrakat sangat peka dan terbuka serta memiliki peran yang sangat besar dalam mengawasi jalannya politik strategi nasionalyang dibuat dan dijalankan oleh presiden.
a.    Stratifikasi politik nasional
Stratifikasi politik nasional dalam negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
1.    Tingkat penentu kebijakan puncak.
Meliputi kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara nasional dan mencakup penentuan undang-undang dasar. Menitik beratkan pada masalah universal politik bangsa dan negara untuk merumuskan idaman nasional berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan tingkat puncak dilakukan oleh MPR. Dalam hal dan keadaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara seperti tercantum pada pasal 10 sampai 15 UUD 1945, tingkat penentu kebijakan puncak termasuk kewenangan Presiden sebagai kepala negara. Bentuk hukum dari kebijakan nasional yang ditentukan oleh kepala negara dapat berupa dekrit, peraturan atau piagam kepala Negara.

2.     Tingkat kebijakan umum.
Merupakan tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan puncak, yang lingkupnya menyeluruh nasional dan berisi mengenai masalah-masalah makro strategi guna mencapai idaman nasional dalam situasi dan kondisi tertentu.

 3. Tingkat penentu kebijakan khusus.

Merupakan kebijakan terhadap suatu bidang utama pemerintah. Kebijakan ini adalah penjabaran kebijakan umum guna merumuskan strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang tersebut. Wewenang kebijakan tingkat di atasnya.

 4. Tingkat penentu kebijakan teknis.

Kebijakan teknis meliputi kebijakan dalam satu sektor dari biang utama dalam bentuk prosedur serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program dan kegiatan. 
Wewenang pengeluaran kebijakan teknis terletak pada pimpinan eselon pertama Departemen Pemerintahan dan Pimpinan Lembaga-lembaga Non-Departemen. Hasil penentuan kebijakan berupa Peraturan, Keputusan, Instruksi Pimpinan Lembaga Non-Departemen atau Direktur Jenderal.

5. Tingkat penentu kebijakan di Daerah.
Wewenang penentuan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat di daerah terletak pada Gubernur dalam kedudukannnya sabagai wakil pemerintah pusat di daerahnya masing-masing. Kepala daerah berwenang mengeluarkan kebijakan pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD. Kebijakan tersebut berbentuk Peraturan Daerah (Perda) tingkat I atau II. Menurut kebijakan yang berlaku sekarang, jabatan Gubernur/Kepala Daerah tingkat I, Bupati/Kepala Daerah tingkat II atau Walikota/Kepala Daerah tingkat II.

b.    Stratifikasi politik daerah (Kewenangan Daerah)

 1. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999tenang Otonomi Daerah, kewenagan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

 2. Kewenagnan bidang lain, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro.
3. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah :
a. DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai eksekutif daerah dibentuk di daerah.
b. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi:
1).Memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
2).Memilih anggota Majelis Permusawartan Prakyat dari urusan Daerah.
3).Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.

 4. Membentuk peraturan daerah bersama gubernur, Bupati atas Wali Kota.

 5. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama gubernur, Bupati, Walikota.

 6. Mengawasi pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pelaksanaan APBD, kebijakan daerah, pelaksanaan kerja sama internasional di daerah, dan menampung serta menindak-lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.
 
  refrensi :
2.    http://wawanhariskurnia.blogspot.com/2012/12/politik-dan-strategi-nasional_7.html