Deregulasi
perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat beberapa hal. Di
antaranya: memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga
deposito. Kemudian dihapusnya campur tangan Bank Indonesia terhadap penyaluran
kredit. Deregulasi ini juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan
untuk merangsang minat berusaha di bidang perbankan Indonesia di masa
mendatang.
Lima tahun
kemudian ada Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang terkenal itu.
Pakto 88 boleh dibilang adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah
Republik Indonesia di bidang perbankan. Contohnya, hanya dengan modal Rp 10
milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru. Dan kepada bank-bank
asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota.
Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional
diijinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana BUMN oleh
bank-bank milik negara dihapuskan.
Bahkan,
beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk mendapat
predikat itu dilonggarkan. Dengan berbagai kemudahan Pakto 88, meledaklah
jumlah bank di Indonesia.
Banyaknya
jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito
dan tabungan juga semakin sengit. Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu
untuk mencari untung, sisi keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya
kredit macet menggunung. Kondisi ini kemudian memunculkan Paket Februari 1991(Paktri)
yang mendorong dimulainya proses globalisasi perbankan.
Salah satu
tugasnya adalah berupaya mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan
perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimal 8
persen dari kekayaan. Yang diharapkan dalam paket itu adalah akan adanya
peningkatan kualitas perbankan Indonesia. Dengan mewajibkan bank-bank memenuhi
aturan penilaian kesehatan bank yang mempergunakan formula kriteria tertentu,
tampaknya paket itu tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang
diwarnai trauma atas terjadinya kasus kolapsnya Bank Perbankan Asia, Bank Duta,
dan Bank Umum Majapahit.
Setelah
itu, lahir UU Perbankan baru bernomor 7 tahun 1992 yang disahkan oleh Presiden
Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang itu merupakan penyempurnaan UU Nomor
14 tahun 1967. Intinya, UU itu menggarisbawahi soal peniadaan pemisahan
perbankan berdasarkan kepemilikan. Kalau UU yang lama secara tegas menjelaskan
soal pemilikan bank/pemerintah, pemerintah daerah, swasta nasional, dan asing.
Mengenai perizinan, pada UU lama persyaratan mendirikan bank baru ditekankan
pada permodalan dan pemilikan. Pada UU yang baru, persyaratannya meliputi
berbagai unsur seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di
bidang perbankan, kelayakan kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Untuk
mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam melakukan ekspansi
kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu mengekang bank, pemerintah
mengeluarkan Paket 29 Mei 1993 (Pakmei). Dengan Pakmei itu, pemerintah berharap
mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif
bisa bergairah kembali. Disebutkan dalam Pakmei ini pencapaian CAR (capital
adiquacy ratio)– atau perimbangan antara modal sendiri dan aset -sesuai dengan
ketentuan adalah 8 persen. Kemudian penyempurnaan lain pada paket itu
adalah ketentuan loan to deposit ratio (LDR).
Aturan yang
terakhir diluncurkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1996 yang
ditanda tangani Presiden RI pada 3 Desember 1996. Belajar dari pengalaman Bank
Summa, PP ini sangat menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu
persis rapor banknya. Dengan begitu, mereka bisa ancang-ancang jika suatu saat banknya
sedang goyah atau bahkan nyaris pailit.
No comments:
Post a Comment